Fakta & Profesional
MANADO, ibinews.co.id – Setelah 69 tahun Indonesia merdeka tepatnya 20 Oktober 2014, rakyat Indonesia memiliki Presiden pertama yang bukan berasal dari elite politik atau militer.
Presiden Joko Widodo yang merupakan Presiden kecintaan rakyat, diakhir pemerintahannya banyak mendapat sorotan dan rongrongan dari sebagian elite politik, guru besar, oknum budayawan dan tak ketinggalan oknum ahli hukum.
Bagaikan hakim agung mereka ‘menjust’ dengan amar putusan bahwa Jokowi terbukti dan menyakinkan, bersalah melakukan ‘cawe-cawe’ pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, tentang persyaratan batasan umur Capres-cawapres. Bahkan mereka menuduh Presiden telah mematikan demokrasi, di Indonesia, melanggar konstitusi, penyalahgunaan kekuasaan, bansos BLT untuk kepentingan pemenangan dari Capres 02 Prabowo – Gibran dan lain sebagainya.
Bahkan ketika ‘real count’ dari KPU mengumumkan, pasangan 02 sudah memperoleh suara mendekati 60% dari 70% surat yang masuk. Hal ini membuat para ‘elite politik haluan kiri’ berusaha untuk menggunakan hak angket dengan tujuan yang tidak jelas.
Dalam rapat paripurna persidangan IV tahun sidang 2023-2024 (5/3-2024) legislator Luluk Nur Hamidah dari Fraksi PKB dengan alasan “Tanggung Jawab Moral” dan banyaknya “aspirasi” yang dia terima, mengatakan bahwa pemilu 2024 merupakan pemilu yang paling brutal dan menyakiti hati.
“Apanya yang mau diangket ?
Tanggung jawab moral apa ? apalagi membawa-bawa aspirasi rakyat, rakyat yang mana,” tanya Barama.
Menyebut proses pemilu 2024 paling brutal tanpa ada pembuktian jelas (obscuur libel), mencerminkan Luluk Nur Hamidah ‘kaya akan rasa “dengki dan cemburu” pada rakyat yang sudah memberikan suara mereka pada 14 Februari 2024.
Inilah yang disebut,
“Domme mensen kennen hun domheid, maar slimme mensen kennen hun domheid niet. (Orang bodoh tahu akan kebodohannya, orang yang merasa pinter, tidak tahu akan kebodohannya,” kata Menner Michael.
Dosen senior Fakultas hukum Universitas Sam Ratulangi, Dr Michael Barama SH.,MH, saat dimintai pendapat tentang fenomena pernyataan-pernyataan sikap dari beberapa guru pasca pilpres, mengatakan, bahwa “Seorang Ahli Hukum” tidak bisa langsung memutuskan bahwa orang ini bersalah, seharusnya mereka hanya memberikan penerangan hukum ibarat lampu senter yang menerangi jalan gelap agar tidak terantuk di batu atau terperosok di comberan kotor.
“Jujur saja, saya sebagai akademisi, ahli hukum pidana dari fakultas hukum UNSRAT, malu atas Statement-statement yang mereka lontarkan di publik,” tambahnya.
Lebih lanjut dosen senior ini mengatakan bahwa “Terkesannya Jokowi Keluar dari Partai” yang pernah mengusung dia, merupakan langkah yang diambil, dalam rangka “Penyelamatan Negara”.
Perlu diketahui, “Indonesia tidak mengenal sistem oposisi” dan juga tidak berlaku “sistem kerajaan”.
Harus dipahami bahwa Indonesia bukan milik kelompok atau partai politik tertentu dan hal ini pastinya susah dipahami betul oleh Jokowi.
Lebih jauh doktor ahli hukum pidana ini mengatakan “saat ini dapat dikatakan terpilihnya Prabowo dan Gibran, karena rakyat bisa menilai bahwa sosok Prabowo merupakan sosok yang sudah “lunas” dalam pengertian didalam hati Prabowo, sudah tidak ada rasa iri dengki dan rakus juga tidak ada dendam, yang tersisa dalam diri Prabowa adalah iklim sejuk menghadapi orang yang menghina, mencaci dia. Walaupun orang yang mencaci, memojokkan dia pernah dibantunya ibarat “Air madu di balas dengan air tuba”.
Semua kebaikan yang dia lakukan, tidak perlu dipublikasikan termasuk menolong orang yang sudah diambang hukum mati tanpa perlu dipublikasikan.
Dalam Kitab Injil disebut:
Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.
Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu. (Matius 6:3-4 TB).
Di negeri kincir angin ada hukum, yang disebut
“Rechterilijke Pardon” (pemaafan hakim) merupakan sebuah konsep yang juga dianut oleh hukum Belanda, dimana hakim dapat memberikan pemaafan terhadap terdakwa. Pemaknaan dari
“Rechterilijke Pardon” bahwa
dalam pertimbangan tertentu, hakim bisa memberikan maaf dan terdakwa dinyatakan bersalah meski tak dijatuhi hukuman.
Konsep ini dipakai oleh Prabowo dalam Debat Pilpres 2024 terakhir,
(4/2/2024) pada “closing statement” tersirat, bahwa dia bukan hanya memaafkan mereka yang sudah memberi angka 5 dan angka 11 dari 100, kepadanya.
Tetapi sifat father’s hand pada diri Prabowo terlihat jelas, disaat dirinya meminta maaf, jika ada tutur kata yang telah mengusik atau menyakiti hati.
Saya berpendapat bahwa hal ini menjadi salah satu faktor kemenangan yang diraih Prabowo – Gibran, menang bdalam satu putaran, kata Dr Michael Barama SH,MH ahli hukum pidana dari Universitas Sam Ratulangi Manado. (Hendra)
Komentar