IBInews.co.id =
JAKARTA // Belanja aspiasi warga Jakarta,khusunya masyarakat Betawi di akar rumput bisa didapatkan dengan merasa. Kebutuhannya apa sih?
Belanja atau shopping aspirasi tidak melulu soal berkunjung, atau masuk gorong-gorong atau menghadiri kerumunan. Tapi belanja aspirasi bisa dilakukan hanya dengan mengamati merasakan kegelisahan dengan hati nurani kita sebagai insan kamil. Menjadi manusia sempurna yang bisa merasa, karena penelitian saja juga tidak serta merta gamblang dengan data-data statistik.
Apa sih yang menjadi kegelisahan mereka? Tentu Semua sudah tahu jawabannya.
Karena dalam membangun kota bukan hanya infrastruktur, bukan hanya soal bersih manusiawi dan berwibawa. Kita bisa melihat Alexander Agung kala membangun Alexandria dengan mendirikan perpustakaan besar, menjadi pusat budaya paling vital, hingga menyaingi Yunani.
Seperti halnya falsafah Betawi yang rupanya punya korelasi, yaitu Sekolah Sholat dan Silat atau 3S. Kenapa harus Sekolah dulu menjadi urutan pertama, karena segala sesuatunya harus didasari dengan ilmu. Bahkan dalam soal beribadah, bisa dikatakan tidak sah atau ditolak ibadahnya seseorang tanpa mengetahui ilmunya.
Baru kemudian sholat dan silat, singkatnya Kecerdasan emosional (EQ) memang penting, tetapi tidak cukup tanpa diimbangi dengan kecerdasan spiritual (Emotional Quotient), silat menjadi lambang Soft skill. terlalu melebar mungkin jika dijelaskan. Namun, sedikit banyaknya Alexander membekali masyarakatnya dengan pendidikan dan kebudayaan hingga menjadikan kota Alexandria sebagai pusat peradaban.
Lantas bagaimana dengan DKJ dan sekenanya yang sudah mulai bertransformasi menjadi kota Global? Tentunya tantangannya kita semakin berat. Khusunya bagi mereka yang ada di garis bawah, yang semula dicitrakan malas, tukang kawin, gede ambek. Bahkan dianggap duri di dalam daging.
Mengutip data dari BKKBN dalam program Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE), jumlah penduduk yang dianggap miskin di Jakarta disebut mencapai 2,5 juta orang. Dan tidak sedikit penduduk inti kota Jakarta yang merupakan warga Betawi berada dalam kategori tersebut. Padahal semestinya, penduduk inti atau pribumilah yang seharusnya menerima implikasi positif dari perubahan fisik kawasan dan sosial ekonomi.
Dan berdasarkan laporan The Global Cities Report 2023, Jakarta menempati peringkat ke-74 dari 156 negara yang diteliti. Merupakan posisi paling bawah untuk di Asia Tenggara, bahkan untuk setara Kuala lumpur pun belum yang menjadi urutan ke 72.
Sementara itu, menjadi kota global berarti kita membuka peluang kerjasama berbagai aspek secara global yang didukung dengan infrastruktur dunia, transportasi dan smart telekomunikasi serta energi yang berkelanjutan. Belum lagi adanya melting pot budaya global yang begitu kompleks.
Hal ini menjadi tantangan besar bagi masyarakat lokal yang kebanyakan berada di garis ekonomi menengah kebawah dari angka 2,5 juta warga miskin itu. Dan kembali kepada shopping aspirasi, kegelisahan mereka saat ini adalah bagaimana caranya menjadi manusia yang bersih manusiawi dan berwibawa.
Bersih atau sehat, manusiawi atau berkarakter dengan adat ketimuran dan ideologi pancasilanya serta berwibawa secara finansial. Apakah mereka bisa bersaing di tengah persaingan kota global atau malah sengaja dilepaskan seperti anak ayam yang kehilangan induknya.
Tentu tidak, beberapa produk hukum sudah menunjukan keberpihakannya kepada masyarakat lokal saat ini seperti perda nomor 4 tahun 2015 tentang pelestarian budaya Betawi dan revisi undang-undang nomor 2 tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta yang termaktub dalam pasal 31 Frase Lembaga Adat dan Kebudayaan Betawi, sehingga yang dibutuhkan saat ini adalah keseriusan dalam mengimplementasikan produk-produk legislasi tersebut.
Dan kemudian adalah menjawab kegelisahan, dengan membentuk perangkat atau program yang membangun manusianya sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan, potensi, dan kesejahteraan manusia secara komprehensif sebagaimana Alexander Agung membangun Alexandria yang dimulai dengan pendidikan dan kebudayaan yang vital di jamannya. Beda jaman memang, tapi saat ini semua perangkat sudah siap dan lebih mudah ketimbang Alexander. Hanya tinggal implementasi dan keberpihakan yang dibutuhkan.
Aspirasi ini diobral cuma-cuma, namun adakalanya kita terjebak dengan pola hidup konsumtif, terlalu banyak belanja hingga ada barang yang tak terpakai sia-sia. Tentunya kita tidak ingin demikian, karena sejatinya di alam demokrasi ini aspirasi itu bebas diambil dari mana saja.
Kini saatnya kita membangun Betawi yang berkelanjutan secara komprehensif termasuk membangun manusianya, sehingga masyarakat Betawi bisa menerima implikasi positif dari perubahan fisik kawasan dan sosial ekonomi.
Lalu yang paling mendasar, apakah ada dari ketiga calon ini yang serius dan mau berkomitment penuh dalam membangun Betawi secara utuh? Siap berkolaborasi dalam menjawab tantangan-tantangan kota global?
Red
Komentar